Selasa, 02 November 2010

SYAIR AISYAH KEPADA NABI

- Aisyah Radziallohu ‘Anha –                         ( dipostkan oleh 2lisan.com)


Wahai manusia yang tidak sekalipun mengenakan sutera
Yang tak pernah sejeda pun
Membaringkan raga pada empuknya tilam

Wahai kekasih yang kini telah meninggalkan dunia
Kutahu, perutmu tak pernah kenyang
Dengan pulut lembut roti gandum

Duhai, yang lebih memilih tikar sebagai alas pembaringan
Duhai, yang tidak pernah terlelap sepanjang malam
Karena takut sentuhan neraka Sa’ir. 

  ----------------------------------------------------------------------                                                                                 

 Membaca syair ini tak tertahan berurailah airmata membasahi jiwa.
Terjelaskanlah dengan gamblang banyak hal.
Dan saya hanya akan sedikit saja menukil maknanya :

1. Aisyah RA (sang pembuat syair itu) :

- Demikian tampak rasa cinta kasihnya kepada sang suami :
Diseluruh bait bahkan hamper setiap barisnya tersirat dan tersurat kedalam cinta dan kasihnya (“Wahai..yang tak pernah..membaringkan raga pada empuknya tilam..wahai kekasih..kutahu…pulut lembut..duhai..dst”, ya diseluruh badan syair ini bersimbah airmata kecintaan dan kasihsayangnya!)

- Beliau sangat memperhatikan kebiasaan sang suami
Mengetahui apa yang dirasakan oleh raganya (“Kutahu”, perutmu tak pernah “kenyang”) Mengatahui kedalaman isi hatinya (karena “takut” sentuhan neraka “Sa’ir”..)
Dalam hal ini tampak beliau mengetahui bahwa suaminya “takut” sehingga setiap malam sang suami “tidak pernah terlelap (tidur pulas)”, tetapi juga tahu yang ditakuti itu yaitu neraka SA’IR (Neraka pada pintu ke 6, yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, artinya orang yang ingkar terhadap apa yang telah diketahuinya bahwa itu perintah Alloh tetapi justru mengingkarinya, juga menolak apa yang diperintahkan Alloh itu. Lebih beratnya lagi yaitu sudah kafir masih memakan haknya yatim-piatu, sehingga orang dan jin yang masuk kedalam neraka ini akan kekal didalamnya.

- Beliau sangat menjaga dan sangat mengkhawatirkan sang suami. Hal itu tersirat dari pilihan dan susunan kata disetiap kalimatnya, yang saat membuatnya pasti ada rasa “sesal”, bahkan dapat pula jika dimaknai syair itu sarat dengan “keluh” terhadap ketidak mampuan beliau “lebih” menjaga kesehatan dan kenyaman sang suami (kalau tak mau dibilang memaksa untuk bisa tidak terlalu seperti yang sewajarnya manusia apalagi seorang puncak manusia. Tetapi sekaligus beliau dapat menerima sikap dan perilaku sang suami sebagai “sang pilihan” artinya termasuk sangat pasrah dan sangat memahami “skenario” Alloh (yang telah menentukan sang suami menjadi “segenap” percontohan. Dan memang Rasulullah di nash olehNya memiliki sifat jaiz semata.

- Ini sebuah syair yang tampak bersahaja tetapi dengan kesahajaannya inilah terletak kekuatan dahsyatnya. Seakan apa adanya namun sungguh teramat padat makna yang dapat dijelaskan apa-apa yang dimaksud, lengkap dengan kedalaman perasaan yang terlibat didalamnya.

- Sungguh maklum ketika kemudian beliau dijuluki ummul mukminin, karena syarat-syarat sebagai seorang “puncaknya ibu” ibunya kaum beriman, sejak dikemudaannya pun telah tampak nyata!!. Pribadi yang ikhlas-tulus, cerdas lahir-batin dan penuh cinta-kasih-sayang!.

- Subkhanallooh, sungguh tak habis-habis takjub saya pada pilihan seluruh katanya yang kemudian ditutup dengan kata SA’IR. Kata kunci yang merupakan nama yang paling ditakuti oleh semua manusia dan jin!. Dan (Maaf ini semata anggapan dari kedunguan saya pribadi) rasanya jarang sekali para penyair atau pujangga mendapatkan kata-kata pengunci dipuisinya yang demikian dahsyat!!.

2. Syair ini menjelaskan dengan gamblang bagaimana kehidupan pribadi sehari-hari Rasulullah SAW :

- Dibaris pertama (tidak sekalipun mengenakan sutera), Rasulullah menerapkan dan membuktikan bukan saja hidup penuh kesahajaan, tetapi sekaligus tidak sombong. Bagaimana seorang Tokoh Puncak Dunia tak pernah memakai “sekedar” pakain mewah atau anggaplah sebagai pakaian kebesarannya sebagai manusia paling berpengaruh disepanjang jaman (Jaman itu jaman kerajaan termasuk keuskupan dll yang wajar-wajar sj punya pakaian kebesaran/kenegaraan, tetapi Rasulullah tidak!.

- Dibaris kedua, yg tak pernah sedetikpun membaringkan raga (jangankan untuk tidur sekedar meletakkan tubuh) diatas kasur empukpun tak pernah. Sebuah kenyataan yang superlative dalam hal pengendalian diri dan sangat khawatir terhadap segala sesuatu yang melenakan. (dan pada baris ini rasanya ada kandungan lain yang kian dahsyat maknanya namun beliau Aisyah RA sangat halus menyampaikannya, biarlah sang penafsir bijak saja yang “nyampai”, karena kita tahu Aisyah RA sangat cerdas dan juga sangat memahami bagaimana bersyair, sesuai dengan masa-masa itu dunia kepenyairan sangat maju)
Ini membuktikan bahwa Rasulullah SAW benar-benar pribadi yang satunya kata dengan perbuatan dan sangat konsisten.

- Bait selanjutnya terlebih nyata lagi betapa Rasulullah SAW teramat membatasi diri terhadap kesenangan ragawi kenikamatan duniawi yang khalal dan normal sekalipun (dan itu cermin dari sikap batinnya) yang seakan menyengaja senantiasa dalam keadaan “puasa”, bahkan sekedar roti lembut-lumerpun seakan tak pernah. Beliau menekan perut laparnya dengan sebongkah batu yang diselipkan didepan perut dijepit ikat pinggangnya. Ketika berbuka puasa haya dengan 3 biji kurma dan segelas air. Maka jelaslah jika yang demikian saja dapat beliau jalani sepanjang waktu disegenap ruang, tak pelak beliau menyatakan penolakan terhadap seluruh bujuk rayu kaum-kaum maupun Negara-negara manapun agar beliau menghentikan penyebaran Islam, jika toh harus memanggul matahari yang diletakkan ditangan kanan rembulan ditangan kiri, apapun itu takkan menggoyahkannya, sampai ajal menjemput!.

- Baris berikutnya, “….yang memilih tikar sebagai alas tidur” (bukan tilam empuk, bukan pula hambal tebal). Dan terbetik kisah beliau biasa tidur diatas pelepah daun kurma berbantal lengannya sendiri. Sekali lagi membuktikan sikap penjagaan diri terhadap segala sesuatu yang dapat membuatnya terlena oleh kenikmatan duniawi sekaligus sebagai sikap memperkuat diri terhadap aneka cobaan dan ujian dariNya walaupun beliau tahu bahwa dirinya adalah pilihanNya tetapi justru karena itulah beliau sangat menjaga diri untuk sama sekali tidak seenaknya memanfaatkan posisinya. Beliau justru menjadi lebih sadar bahwa justru harus lebih hati-hati dalam setiap tindakan yang pasti akan menjadi contoh bagi pengikutnya saat itu maupun masa-masa sesudahnya hingga saat ini. Kita pun dapat saja menafsirkan jika dulu Nabi Ibrahim Alaihissalam dibakarpun malah bersa sejuk nyaman, Nabi Yusuf Alaihissalam didalam sumurpun nyaman-nyaman belaka, maka apalah artinya sekedar tidur beralas tikar makan tak pernah kenyang. Pendek kata apalah arti derita bagi beliau sementara beliau tahu penderitaan berat sekalipun harus disyukuri karena itu cobaan dariNya semata yang justru akan berbuah kebaikan tak terbayangkan. Contoh sebagian saudara kita ada yang harus hidup dikolong jembatan, didalam rumah kardus atau bagaimanapun kondisi hidupnya, jika ingat bahwa Rasulullah SAW sang manusia Pilihanpun hidup dengan tanpa merasakan kenikmatan duniawi maupun ragawi maka akan luruhlah hatinya untuk dapat menerima keadaan, juga bagi yang berpunya akan dapat merasa malu jika hidup bermewah-mewah dan bermegah-megah walaupun bisa! Betapa indahnya percontohan-percontohan Rasulullah SAW itu. Itulah pula salah satunya kenapa kehadirannya dimuka bumi ini sebagai rahmatan lil’alamiin. Mengajarkan akhlaq mulia dengan keteladanan dari segenap tutur-sapa dan perilaku beliau sendiri yang sesuai perintahNya serta menyampaikan wahyuNya!.

- Baris terakhir pada bait itu, baliau “takut” adalah terhadap neraka Sa’ir. Neraka yang tak ada ampunan sehingga siapapun yang pada kategori penempat neraka itu akan kekal didalamnya tiada siapapun dapat menolongnya. Jangankan masuk didalamnya, tersentuhpun takut!. Inilah sebuah kesadaran tertinggi terhadap makna pilihan hidup. Ibarat sebuah koin disatu sisi gambar surga tapi sisi lainnya adalah sebaliknya, neraka!. Na’udzubillaahi mindzalik!.

Ingin rasanya untuk mengurai lebih dalam lagi kedalaman maksud dan makna syair Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallohu Anha ini…..tak habis-habisnya!. (kiranya masih banyak lagi makna yang dapat digali lebih dalam lagi lebih mendekati kebenaran sebagaimana maksud beliau).
Subkhanalloooh…

                                                                                     -  Tenggarong, 8 Juli 2010 -
                                                                                              (Wong Embi Yen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar