Rabu, 10 November 2010

CELOTEH DI WARUNG KOPI

oleh Wong Embi Yen pada 18 Juli 2010 jam 23:38
(Mung Dapur Panguda-Rasa Warung Kopi).

Celoteh di warung kopi :

“Lhah yang dianggap pemimpin sekarang ini lho, sepertinya ko hanya orang yang bisa dikenal dipusat sana ya, entah lewat tv, koran, majalah, dst yang kayaknya tanpa proses pencapaian yang istimewa, berat dan panjang. Tanpa peduli basis akademik ataupun kebaikan kepribadiannya ya?. (yang dimaksud basis akademik mungkin tidak saja cerdas dan faham ilmu pengetahuan pada bidangnya, tetapi juga pengalaman terapannya. Dan kebaikan kepribadian mungkin pada sifat dan sikapnya, adil dan amanah dalam bertindak, mengedepankan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi, peduli dan cepat-tanggap, teguh dalam memegang prinsip kebenaran serta kuat dalam pengendalian diri, juga penuh rasa malu dan mawas diri, belum lagi wibawa, santun dan bersahaja). Artinya telah memenuhi kriteria sifat dan sikap keteladanan, kecendekiawanan dan aklak mulianya.
Kayaknya pemimpin sekarang ini cenderung seadanya, liberal-pragmatis bahkan tidak keruan juntrungannya, tak sedikit juga yang sekedar karena harta dan kedekatan-kedekatannya dengan kantong-kantong kekuasaan”.

Si Ndower (memang mulutnya ndower dan lidahnya paling njlimet diantara sekian orang yang nongkrong diwarung itu) dengan lagak seperti pengamat, angkat bicara maunya si membahas mukadimah celotheh diatas :
“Ya lihat saja, kalau berangkat dari lingkungan akademisi maka kebanyakan dari “keberhasilannya” menjadi pengamat yang pandai bicara dan yang cenderung “penyerang kebijakan, penjelek-jelek orang” (bukan bermakna vocal dan kritis yang semestinya lho). Jauh dari kearifan dan mawas diri dan bukan yang tekun yang santun dan yang semakin merunduk. Juga tak peduli track record dirinya sendiri yang (dengan mata telanjang dapat dilihat) miskin pengalaman, belum teruji serta belum difahami mentality and morality-nya. Celakanya orang banyak juga ga mempedulikan itu, biasanya karena terpana pada kejagoannya bicara saja. Dilain pihak, yaitu yang diserang, kalau tak bisa atau lagi males menandinginya, maka justru banyak memanfaatkan mereka dengan memberinya jabatan atau paling tidak mensponsorinya dengan tetap menggunakan “netralitas baju pengamat”.

Selanjutnya, seperti banyak kita lihat dengan mata kepala sendiri dilingkungan kita juga, jika berangkat dari partai politik maka (tau sendirilah) cara mereka memperoleh kebesaran namanya. Alangkah banyak mereka yang sebenarnya tidak faham ketata-negaraan, tak faham letak, luas dan isi negaranya (bahkan daerah lingkungannya sekalipun), tak tahu bagaimana memanggul amanah rakyat, 'ra ngeh apa yang dibutuhkan rakyat, malah-malah ga ngerti dhong-dhing apa itu cita-cita adil dan makmur bagi negara dan bangsanya, jangan-jangan Pancasila pun ga hapal apalagi suruh buka-buka UUD ’45, dst.

Lain pula kalau berangkatnya dari karier, sepertinya sudah ga bener dari awalnya (lha wong mlebune nganggo nyogok/jadinya pegawe pakai nyuap) atau setidak-tidaknya setelah dirasa ko kariernya bisa naik terus. Maka kecenderungan fokusnya, orientasinya tak lebih adalah jabatan lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan didasari ego dan sikap batin “merasa telah mampu dan layak”. Jadi bukan jabatan adalah amanah, adalah tanggung jawab berat apalagi kerja semakin keras (sebagai pelayan rakyat) dengan pamrih cita-cita luhur untuk rakyat, adanya pemenuhan ambisi karier dan bukan rasa khawatir tidak mampu memanggulnya.
Bukan hanya itu, ada lagi yang lebih parah yaitu jika berasal dari warisan (tanpa bekal pribadi) atau yang ketiban sampur dadakan (ujug-ujug mak bedunduk mak jedhul mak bedhengus), yang model beginian tentu karbitan belaka, akibatnya apanyapun tentu lebih parah. Pendek kata, sungguh semuanya seakan jauh dari istilah pemimpin ideal.”
Begitu bahasan dari si Ndower. Saking menggebu-gebunya, rokok yang dikempitan jarinya habis dan baranya menyengat sampai harus mengibas-ibaskan tangannya kepanasan trus jarinya dicucup.

Kang Panjul yang merasa kasihan menyodorkan gelas kopinya : “ sik ngombe sik tho Wer”. Si Ndower lalu nyruput sedikit tapi karena tergesa-gesa keburu mau neruskan ocehannya malah tersedak batuk-batuk, wajahnya merah padam, agaknya kopi panas itu salah masuk keparu-parunya.

Rupanya dia cukup demokratis (mungkin karena khawatir pada bosan) jadi dia bertanya : “Diteruskan ga ni?”. Spontan pertanyaan itu ditanggapi aneka ragam oleh para penongkrong disitu. “Ra tak gugu” : sahut si Jawir, lain lagi si Bodong sambil ngantuk-antuk : ”Bab apa tha kuwik?” (agaknya sejak mukadimah sampai Ndower tersedak tadi memang ga memperhatikan).
Lain pula pendapat Kardi Jenggot : “Ngoceh ya ngoceh tapi ga usah nyenggol sana-sini”. si Ndower tanggap :”Lho aku kan cuma bicara secara umum ta?” Kardi menyela lagi :”Justru secara umum itu kan berarti banyak yang kena ta?” “Lha wong nyatanya gitu. Ini kan fakta yang dapat dibaca didengar dan dirasakan!” timpal Ndower ga mau ‘ngalah.

Tiba-tiba pakMan si tukang wedang menyela :“Sampean teruske mawon mas, kersane sami jenak lenggah” (rupanya dia khawatir kalau warungnya sepi). Mendapat dukungan pak Man itu semangat Ndower kembali tergugah, sambil menyalakan rokoknya dia mulai ngoceh lagi dan rupanya dia ga lupa kalimat akhirnya tadi sehingga langsung meneruskan dengan runut :

“Maka sekurang-kurangnya yang terjadi kemudian :
1. Kebingungan. Ya, itulah penampilan yang paling tampak akibat dari tak tahu makna dan arah amanah yang dipanggulnya. Jika sekedar demam panggung pada awalnya si ga seberapa. Bingung apa yang mesti dikerjakan ketika tiba-tiba didepannya terhampar gunung-gunung masalah kenegaraan, kebangsaan dan perikehidupan rakyat. Bingung bagaimana harus bersikap terhadap jajarannya dan apalagi melayani masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. He he..ada padanan tepat dalam istilah jawa “kaya kethek ditulup”.

2. Pada saat harus berpendapat sampai dengan membuat keputusan, justru berakibat membingungkan rakyat, bahkan menyengsarakan. Lucunya, mereka ini kebanyakan tidak sadar malah mengira keputusannya sangat tepat bahkan seakan satu-satunya, malah-malah merasa heroik. Ini juga ada padanan istilahnya seperti “kambing congek”

3. Menimbulkan masalah baru, akibat tidak memahami hukum sebab-akibat, sehingga jangankan menyelesaikan masalah atau paling kurang membatasi dan mengurangi bobot masalah, sebagai akibat dari kesalahan kebijakan yang diputuskan dan diberlakukannya.

4. Melengkapi mata-rantai kerusakan, bukannya menghentikan atau merubah apalagi tegak-teguh menentang arus kebijakan yang salah, tetapi malah menggaris-bawahinya dengan segenap kemampuannya meyakinkan semua fihak bahwa kebijakan itu sudah dipertimbangkan secara njilmet dan sangat tepat.

5. Sikap dan tutur-sapanya wagu. tersebab kedunguan dan sikap tak peduliannya, persis istilah “bodho longa-longo kaya kebo”, malu-maluin, istilah umum jawa “ngisin-isini atau nglelingsemi”.

6. Borjuis baru, suka kemewahan dan penaka raja yang harus dilayani. Ah bab ini ga perlu diterjemahkan lebih jauhlah yaw!. Dan celakanya yang seperti ini malah masih juga di subya-subya, bahkan lihatlah mereka yang jelas-jelas telah divonis bersalahpun karena nggarong, maling, korupsi, kolusi, mesum dst, masih dengan tanpa pekewuh mengumbar senyum gagah dan masih juga berkilah huaneh-aneh.” : begitu kupasan si Ndower dan berhenti disitu sambil terengah-engah karena kelamaan ngoceh. Tapi ga lama disambungnya lagi :

Sampel-sampel simpel tampilan seperti diatas hampir setiap saat tampak di layar TV dan Koran. Untuk mengetahuinya, cukup dengan sedikit saja meningkatkan perhatian. Nanti batin ini tentu akan menyuarakan “yang semestinya” atau hati berdesir dan spontan berucap : “ko begitu ya?”..dan buntut yang berkembang kemudian “waduh naik lagi-naik lagi, ribut lagi-ribut lagi, bakalan tambah ruwet ni, lagi-lagi begitu, begitu-begitu lagi”.

Katanya kemudian : “Mari lihat, beberapa saja contoh yang tak besar-besar banget saja, dan yang saat ini lagi in, bagaimana hingar bingarnya kenaikan TDL listrik. Bagaimana para pejabat berdebat, berdalih, para pengamat berbusa-busa, pun para pengusaha yang merasa paling menderita terkena dampaknya, padahal pleaselah..benarkah?. Termasuk argumen para pejabat itu, lagi-lagi mengulas pembandingan dengan harga-harga dinegara-negara lain. Sementara dampak berantainya tetap saja langsung menusuk jantung rakyat! (Lha wong pendapatannya ga naik). Pertanyaannya kemudian, untuk apa? benarkah itu jalan satu-satunya?. Mereka, sang jajaran penentu dan semua yang ribut-ribut itu merasakankah? Siapa obyeknya, benarkah rakyat sebagai subyek? lugasnya, siapa yang akan menanggung beban beratnya?, akibat berantai atau efek domino atau apalah lagi istilah lainnya? Lugasnya lagi, apa yang terjadi pada harga-harga kebutuhan rakyat?”.

“Contoh lain, pengurangan sebesar-besarnya minyak-tanah yang kemudian diganti dengan gas dilengkapi tabung-tabungnya, apa akibatnya?.
Tak perlu lagi bicara kenaikan BBM. Orang jawa bilang “luput cinatur merga entek amek kurang golek” : habislah ocehan si Ndower, saking semangatnya sampai benar-benar kelelahan rupanya..kepalanya pun menunduk, mata terpejam kliyeng-kliyeng mabuk kopi.

Suasanapun rada tintrim, tiba-tiba dengan sangat kalem terdengarlah mbah Pana berkata (rupanya semua lupa bahwa disitu ada mbah Pana si tukang sapu gedung belakang warung wedang kopi itu. Seorang pyayi sepuh yang konon sudah 22 tahun numpang kerja di gedung itu, dari dulu sampai sekarang ya tetep saja sebagai tukang sapu, paling-paling dapat tambahan dari mobil-mobil atau sepeda motor yang parkir disitu, itupun tak pernah minta, pantang!).

Kata mbah Pana : “Lhoh le, kata kuncinya kan apapun kebijakan yang diputuskan dan diberlakukan harus sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat ta?, bukan justru selalu menjadi beban-beban baru yang kian mencekik dan mempurukkan!”. Dengan sedikit bergurau coba saja tanyakan “apa yang telah diperbuat untuk meningkatkan pendapatan rakyat, atau meningkatkan daya beli rakyat?”. Sungguh ga perlu lagi bertanya berapa, apa dan dimana peningkatan penciptaan lahan kerja ataupun penyerapan tenaga kerja atau keberhasilan menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Karena jawabannya akan lebih memusingkan dan membingungkan mereka, belum lagi malunya. Dibatin mereka sebenarnya ada pengakuan bahwa sebenarnyalah penyangga perekonomian negri ini selain sumber daya alamnya yang dibayangkan (tapi dengan ketidak-peduliannya) takkan ada habisnya dan negri ini masih tegak karena kemampuan rakyat itu sendiri untuk menghidupi dirinya sendiri (dan dengan interaksi kompleksnya maka masih bisa membuahkan kemajuan-kemajuan dilingkungannya masing-masing).

Maka jangan salahkan jika angka kriminalitas, bahkan terorisme, angka sakit jiwa, angka bunuh diri, angka jual diri, angka amuk dan anarkhisme, angka nyawa tak berharga, dst, meningkat dari waktu ke waktu tak tertahan!. Jangan salahkan pula dan siapapun orangnya mempunyai anggapan jaman ini jaman edan, bahkan sudah tak asing di pendengaran yang menyebut jaman kalabendu (jaman adzab), tetapi sungguh demi Alloh jangan sampai jaman laknat (jaman yang dilaknat Alloh). Duh Gustiii…duh Robb, ampunilah kami yang dungu berkepanjangan ini….” Begitulah penuturan mbah Pana yang membuat orang-orang disitu rada tertegun mendengar seseorang yang benar-benar tak dikira dapat menerawang jauh urusan yang jauh dari kehidupan sehari-harinya. Benar kata pepatah jawa “jalma tan kena kinira”. disaat orang-orang pada diam itu rupanya mbah Pana masih ingin meneruskan penuturannya :

“Satu hal yang harus mendasari untuk mengetahuinya adalah dengan meniadakan rasa ketertarikan (keterpanaan) barang sebentar saja kepada yang dilihat, termasuk simpati pada perjalanan hidup mereka yang “seakan-akan” penuh derita dan kepedihan, sehingga mereka dianggap sangat tepat menduduki posisi-posisinya itu dst. Kemudian mencoba netral dan wening dalam memahami persoalan yang semestinya harus diselesaikan, kebijakan yang semestinya diberlakukan untuk segenap bangsa, termasuk sedikit saja mawas dan peduli terhadap kemungkinan akibat yang ditimbulkannya”.

Mendengar penuturan itu semua orang termasuk Ndower jadi tambah perhatian sambil pasti membatin :”ini orang bicaranya ko seperti yang setiap saat nonton tv ta? Jaan nyolong pethek tenan ki. Rasanya ga mungkin kalau dia cuma sekedar tukang sapu. Wah ini menarik untuk nanti diwawancarai ni”.

Ee.. masih terdengar lagi mbah Pana melanjutkan : “Dan yang perlu mendapatkan perhatian lebih ketika menilai adalah bahwa setiap kebijakan pemimpin yang kemudian diberlakukan akan berakibat positif atau negatif. Jika kebijakan itu besar maka dampaknya tidak saja besar tetapi juga berantai. Jika kebijakan kecil saja tetapi jika kebijakan itu salah kemudian berakumulasi dengan kebijakan-kebijakan kecil lainnya yang sama-sama salah, maka dampaknya juga menjadi besar dan berantai juga, itu berarti banyak masalah!”

Wah uedan tenan ane tukang sapu ini ko bisa ngomong seperti itu. (padahal bukankah namanya ilmu atau wawasan seseorang tak dapat diukur hanya dengan penampilan ataupun kegiatannya sehari-hari? Maka luputlah jika menyangka “wong cilik” ilmunya juga cilik atau sedikit!. Suasana jadi rada aneh, dan karena mbah Pana juga diam saja maka suasana juga terbawa ke-diam-annya.

Namun syukurlah kemudian ada orang membuyarkan keheningan itu, rupanya suara pakMan sipemilik warung : “Mas, konon dahulu kala, ada sebuah kisah kecil yaitu dijaman berkuasanya khalifah Harun Al-Rasyid.  Namanya khalifah dijaman itu kan sudah berubah bentuk menjadi seperti raja-diraja, teramat jauh jika dibanding dengan perikehidupan khalifah Empat setelah njeng Nabi. Ketika itu dia (Harun Al-Rasyid) sedang berdarma wisata (piknik gitu loh) yang diiring sanak keluarga, para ajudan dan tentu beberapa pejabat kunci negara. Nah, ketika sang raja itu sarapan maka segalanya serba tersedia. tetapi kebetulan ada salah satu lauk yang kurang garam, spontan dia nyelethuk ringan : “hhh..kurang asin”.
Mendengar itu salah satu ajudan menyampaikan kepada salah satu pejabat kunci. Maka celethukan itu diolah dianalisa diotaknya : “berarti kurang garam”, maka dengan kekuasaannya diperintahkan-nyalah kepada salah satu staf bahwa raja kekurangan garam, staf ini langsung berkasak-kusuk : “kita kekurangan garam, negeri ini sangat membutuhkan banyak pasokan garam”. Cepat bagai kilat kasak-kusuk itu berubah menjadi head line dikoran-koran dan mengusik “rasa peduli, rasa bela negara” segenap jajaran pejabat negara yang terkait. Singkat kata, maka dibuatlah KepRa (Keputusan Raja) untuk impor garam. Pejabat Negara terkaitlah yang tentu paling bersemangat mengemban “amanah” itu, dan pejabat-pejabat tinggi yang lainnya meng-amini dengan seamin-aminnya (karena takut kepada sang raja).

Maka terjadilah polemik dahsyat dikalangan mana saja termasuk tentu para pengamat sampai mulutnya berbusa-busa, lengkap dengan segebung literatur ilmiah dan pasti mengerahkan ilmu diskusinya (padahal dibatinnya, wah ini kesempatan mendongkrak nama). Apalagi diwarung-warung sahi (warung teh tetapi disini lebih dikenal dengan istilah warung kopi seperti punya saya ini). Sementara rakyat keseluruhannya? Bingung dan sedih. Bagaimana tidak, mereka tahu persis negaranya sangat berlimpah garam yang terus diproduksi dari air lautnya yang berlimpah, bahkan dari gunung-gunung mereka yang mengandung garam…ee bukannya ekspor tapi malah diputuskan untuk harus impor. Dan akibat paling lucunya lagi, garam dipasaran untuk konsumsi rakyat negara itu harganya melangit. Begitulah, hanya karena sebuah celethukan sang raja maka berakibat semua bingung dan buntutnya “membebani rakyat” yang kemudian kian sengsara!. Sebuah cerminan kedunguan (dungu belum tentu tidak pandai lho namun pinter yang keblinger itu juga dungu), kebingungan, kecerobohan, ketidak-pedulian, kepenjilatan, ambisi dan ego pemimpin (agak memudahkan penggunaan istilah ini, padahal sesorang disebut pemimpin tentu harus memenuhi kriteria sebaliknya dari semua yang disebut didepan itu)”. sampai disitu pak Man diam dan tersenyum lega seakan telah lepas dari beban berat berton-ton dipundaknya yang selama ini hanya sebagai pendengar setia ribuan bahkan jutaan ocehan orang-orang yang nongkrong ataupun sekedar mampir wedangan.

Mendengar pak Man bisa bercertita seperti itu, si Ndower dan teman-temannya ga bisa lagi berkutik, termasuk si Bodong yang rupanya rupanya tiba-tiba hilang kantuknya….batin mereka “Uedaaaan tadi mbah Pana sekarang tambah pak Maaaaan? Si Tukang sapu dan tukang wedaaaaang? Jaaaan tenan jalma tan kena kinira. Uedan !!!.

- Tenggarong, 11 Juli 2010 -

1 komentar: