Rabu, 10 November 2010

DIALOG DALAM DIRI

Betapapun sedihnya akan ditinggal romadhon
dan (insyaAlloh didepan) musti menjalani bulan-bulan yang tak sepertinya
belum lagi ketika harus menjawab beberapa pertanyaan mendasar pada diri sendiri
yang jawabannya suka tak suka akan menentukan status pencapaian yang telah dilakukan sebulan kemarin.

Sebuah pertanyaan sederhana : “Apa yang telah kamu lakukan sepanjang romadhonmu?”
Nurani akan menjawab dengan singkat tepat dan jujur apa adanya. Namun tidak begitu bagi selainnya. Ada yang akan mencoba menjawab dengan berputar-putar, menyembunyikan dan menutup-nutupi kebenaran. Ada juga yang berusaha berkilah dengan berbagai dalih yang dipaksa-paksakan, bahkan ada yang menyatakan kebalikan dari kenyataan dengan memberangus mulut nurani sekuat-kuatnya.

Beruntunglah yang jawabannya sama dengan nurani, meski kenyataan nilainya kurang atau bahkan samasekali belum menggembirakan, namun sudah berarti dan dapat diharap ada pemahaman dan kesadaran, syukur-syukur dengan itu kedepan akan melakukan perbaikan.

Berbeda dengan yang cenderung mengikuti arus penyembunyian, kilah-kilah dan pemberangus nurani, melulu terdorong oleh optimisme berlebihan dan salah kaprah bahwa seakan usia diri ini dapat semaunya dipertahankan entah dengan kekuatan apa, seakan dengan kemudaan dan logika materialisme dapat menentukan takdir yang bukan kuasanya. Tak peduli atau paling sedikit berjudi dengan takdirnya sendiri, padahal kesadaran dan pengetahuannya telah meyakini takdir ditangan siapa dan melupakan prerogasi absolut Alloh Sang Penciptanya.

Begitu pula pertanyaan lainnya tentang berapa nilai atau tingkat pencapaian yang telah dimilikinya.
Pemahaman tentang kriteria dan pola penilaian terhadap amal ibadah dengan nilai capaiannya jangan-jangan juga sekedar mengandalkan logika manusiawinya tanpa melibatkan nurani dan tuntunan yang semestinya, sehingga tentu saja jawaban atas pertanyaan itu akan jauh dari harapannya sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan lainnya pun masih akan menjadi soal berkepanjangan tanpa jawaban, berulang-ulang dari waktu kewaktu, karena jawaban atas dua pertanyaan didepan sesungguhnya tak memungkinkan diri ini dapat meyakini kebenarannya…atau kalau toh cukup yakin pun semata yakin terhadap kebeluman, kelemahan dan kerendahan nilainya.

Dalam masalah nilai inipun sebagian hati berdalih : Manusia berupaya tuhan yang menentukan, termasuk manusia melaksanakan tuhan yang menilai. Dalih ini selalu dipakai untuk menekan nurani dan menisbikan hakekat dirnya sendiri sebagai ciptaan paling sempurna yang membedakan dirinya bukan batu, bukan pohon, bukan hewan termasuk kera sekalipun. Seakan semua "boleh" ditumpahkan kepada Sang Pencipta. Seakan makna romadhon hanya terbatas pada "ini itu" yang tak menentukan pencapaian kesempurnaan, dengan mengebiri kesempurnaan yang "seharusnya" mampu menjadi pemimpin dan pengelola bumi, padahal iapun tahu hanya dirinyalah makhluk yang diberi mandat untuk memimpin dan mengelola bumi, bukan makhluk apapun lainnya.
Dan dalam kesadarannya pada akhirnya ia menyerah untuk selalu hanya seperti biasanya, membiarkan dirinya mengulang-ulang semua hal yang dianggap sudah baik tanpa semangat menggapai yang lebih dan lebih, dan ia merelakan diri terkungkung sepanjang usia dengan melupakan kemaslahatan yang lebih dan lebih. Ia terjebak pada rutinitasnya dengan mengandalkan sikap sekali lagi pasrah kepada kehendakNya.

Ya, bagi sebagian hati didukung otak terbatasnya, kalimat-kalimat seperti : Akhsani taqwim, Kholifah fil ardh, Kuntum khoira ummah, Ud'uuni astajiblakum, Ihdinas shirootol mustaqiim, Shirootol ladziina an'amta alaihim wa ladzdzooolliiin, Laa khaula walaa kuwwata illa Billah, Jihad fi sabilillaah, bahkan satu puncaknya dipertanyakan balik olehNya Fa biayyai aala i Robbikumaa tukadzdzibaan, dan sebegitu banyak kalimat-kalimat kunci lainnya hanya sebatas bermakna bacaan, pemaknaan, penafsiran, juga permohonan, bahkan diterima sebagai rasa keunggulan ciptaan kemanusiaannya belaka, bukan sebagaii kalimat perintah, bukan sebagai komando dari panglima tertinggi yang harus dilaksanakan, sekuat-kuatnya disepanjang "pemberian kesempatan" hayatnya oleh Alloh Azza wa Jalla.

Pengakuan dan persaksian berhenti pada pengakuan dan persaksian dalam kepasrahan belaka.

Astoghfirullaah…pemahaman itu demikian pahit namun harus ditelan, kesadaran itu menjadi begitu menyakitkan namun toh harus diterima.
Semoga pemahaman dan kesadaran itu dapat ditelan dan diterima dengan ikhlas sebagai tingkatan diri, apa adanya.

Pun masih ada lagi pertanyaan mendasar lainnya : “Seberapa tingkat keikhlasannya dimata Alloh Robbul izzati?”

Nurani telah meyakini dari pengetahuan yang selama ini telah difahami bahwa “Kejarlah dunia seakan-akan kamu akan mati seribu tahun lagi. Kejarlah akhirat seakan-akan kamu akan mati esok hari”

Dan Alloh SWT dari waktu ke waktu menciptakan sedemikian banyak manusia seakan tiada henti, untuk masing-masingnya, setiapnya, bebas sebebas-bebasnya menjalani dan mengisi hidupnya, dengan pilihan jalannya masing-masing.
Ada yang menerima sepenuh hati ajaranNya (perintah dan larangan, ilmu pengetahuan dan hukum, proses penciptaan, aneka makhluk, tujuan penciptaan dan tujuan bagi yang dicipta, keadaan akhir yang abadi dan lain-lain secara lengkap), ada yang setengah-setengah, ada yang semaunya sendiri, ada yang mendustakan dan ada yang menolak sepenuhnya.

Ada yang menseimbangkan keduniaan dan akhiratnya, ada yang tak peduli akhirat dan ada yang melulu bahkan hidup menyendiri untuk akhiratnya.

Ada yang menafsirkan ajaranNya persis apa adanya, ada yang membuat kelompok-kelompok kecil dan banyak yang mengelompokkan diri dengan membawakan aliran-aliran "kebenarannya" masing-masing.
Sangat beraneka ragam, bebas, beda kepala beda isinya, lain hati lain pula kedalamannya, masing-masingnya punya tujuannya tetapi ada pula yang sama sekali tak punya tujuan bahkan tak mengerti arti tujuan hidupnya.

Demikianlah dunia berputar terus, berulang-ulang, silih berganti dalam kesamaan maupun perbedaan, dalam kebersamaan maupun sendiri-sendiri, dalam kebenaran yang sebenar-benarnya maupun kebenaran masing-masing juga dalam kesalahan-kesalahannya.

Golongan kiri, golongan kanan atau golongan tengah

Absolutly free.

Sekarang, sekali lagi pilihan-pilihan itu nyata didepan mata.
mumpung romadhon belum sepenuhnya pergi

                                                                                                                                                                - Wong Embi Yen / 8 September 2010 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar