Minggu, 14 November 2010

INTERVENSI

 - Pindahan dari FB Wong Embi Yen -
Pingin ngomong bab intervensi
(tapi kalau ga dengkelen dhewe ya panjang he he ...)

Intervensi :
Menurut kamus artinya Campur-tangan atau Perantaraan (padahal rasanya si masih banyak lagi artinya)
Dalam prakteknya untuk banyak hal, tapi terbagi dua point saja hasil atau akibat yang mengikutinya, positif atau negatif.

Misalnya pada :
Kasus perselisihan antar anak dalam sebuah rumah tangga, anak-anak yang belum dewasa atau jika sudah sama-sama besarnya tapi tidak bisa bersikap dewasa. Perselisihan itu otot-ototan dan sulit dilerai karena saling berkeras memegang kebenaran versi masing-masing, pokoknya seru deh. Orang-tua sebagai fihak yang lebih memahami kebenaran, lebih luas wawasan dan pengalaman hidup, lebih dewasa dan bijak, juga berpengaruh kuat bagi anak-anak itu, dan diyakini tidak berat sebelah, tidak akan pilih kasih, maka wajib mengintervensi dalam arti campur-tangan iya dan menengahi iya, dengan niat melaksanakan amanah sebagai orang tua yang semestinya, berlandaskan sikap kasih sayang tulus dan murni demi kemaslahatan hidup dan kehidupan anak-anaknya, guna :
  1. Mendudukkan perkara pada porsi kebenaran yang sebenarnya, sehingga yang salah sampai bisa menyedari dan mengakui kesalahannya, yang benar tidak kemudian jingkrak-jingkrak gembagus.
  2. Mencarikan jalan keluar yang terbaik sehingga perkara tuntas abgi kedua belah pihak
  3. Mempertahankan kerukunan, kebersamaan dan kekeluargaan
  4. Mencapai kemaslahatan, menjauhkan kemudharatan apalagi kehancuran
  5. Apalah lainnya pokoknya yang menjadikan baik.
Atau kasus cekcok suami-istri yang berlarut-larut dan sulit didapat titik temu bahkan sudah  membahayakan anak-anak dan keutuhan rumah-tangga, maka diperlukan intervensi dalam wujud sebagai perantara atau penengah yaitu pihak ketiga, sampaipun ke level pengadilan agama yang menjunjung tinggi azas mempertahankan keutuhan rumah tangga, bukan cepat-cepat memutus vonis bubar dan cepat-cepat juga membagi harta gana-gini (mestinya fungsi pengacara juga harus begitu, bukan mencari jalan kemenangan kliennya, jangan kemudian justru yang menang adalah pengacaranya ha ha ha…, menang diatas penderitaan yang kalah. Kalau ada pengacara yang juga berprinsip sama sebagai mana semboyan PA itu ya baguslah).

Atau kasus cekcok masalah adat yang mengarah keperpecahan masyarakat adat, maka perlu intervensi tokoh-tokoh masyarakat yang memahami adat-istiadat yang berlaku dan dijunjung tinggi, bahkan jika sudah diperlukan juga intervensi aparat pemerintah setempat, berfungsi sebagai penengah atau perantara dan penentu bahkan penegak kebijakan negara.

Atau kasus tak menentunya harga kebutuhan pokok dipasaran, maka perlu intervensi dari penentu kebijakan ekonomi dan perdagangan, dengan mengingat kemaslahatan ekonomi makro negara dan dalam koridor membela kepentingan rakyat.

Atau kasus percekcokan antar penganut agama atau suku atau ras, maka intervensi negara justru mutlak harus dilakukan, campur tangan langsung negara dalam hal ini aparat pemerintahan dengan sagenap perangkat yang ada guna menegakkan keadilan dan kebersamaan dalam keBhineka Tunggal Ikaan, persis sesuai dengan fungsi dan amanat UUD dan peraturan-peraturan dibawahnya yang berlaku. Dan kasus-kasus lainnya besar-kecil, berskala sangat sederhana sampai yang sangat prinsipiil dalam kehidupan ini.

Dst. dst...

Untuk yang negatif
Misalnya kasus campur-tangan orang tua pada kehidupan anak-anaknya dalam banyak hal, yang tak semestinya dicampuri. Termasuk anak dipaksa harus jadi insinyur atau dokter padahal anaknya nyata-nyata tidak tertarik pada ilmu-ilmu eksakta. Atau orangtua yang artis besar memaksakan anak-anaknya mengikuti jejaknya padahal anak-anaknya lebih berminat pada profesi-profesi lain. Atau anak yang sedang tumbuh dipaksa memikul beban tugas yang bukan porsinya, atau yang intervensi yang seakan-akan sederhana saja seperti seorang bapak mengajari anaknya melukis dengan memegang tangan si anak agar tangan sikecil itu mengikuti kemanapun maunya tangan si bapak, jadi yang terlukis adalah lukisan si bapak, sehingga kemerdekaan anak itu tertindas-musnah.

Atau kasus orang tua yang suka campur-tangan dalam bentuk mempengaruhi apalagi memaksakan kehendaknya dalam banyak hal pada rumah-tangga anak-anaknya, seakan-akan demi kebaikan si anak. Kalau tidak dituruti maka si orang-tua itu lalu ngambek, menyalah-nyalahkan, bahkan ada yang merasa sakit hati malah menjadi sakit stresslah, jantunganlah, leverlah, inilah itulah, ga peduli (atau ga tahu?) akibatnya paling tidak anak-anak itu justru kesulitan bersikap mandiri

Atau kasus tokoh masyarakat yang merasa berpengaruh, berwibawa kajen-keringan, merasa paling miluhur dan winasis, lalu seenaknya memaksakan ritual adat tertentu yang harus dilaksanakan oleh lingkungannya, padahal masyarakatnya tidak semua menyukai adat itu apalagi yang bertentangan dengan keyakinan dari sebagian besar masyarakat disitu. Sehingga yang terjadi berikutnya adalah keresahan dan kekacauan.

Atau kasus dipaksakan masuknya bahan-bahan konsumsi kebutuhan dapur dari luar yang digelontorkan dipasaran padahal produksi setempat untuk bahan-bahan yang sama sangat berlimpah tapi terpinggirkan dengan alasan kwalitas dst. Intervensi model inilah yang bener-bener menjengkelkan, menyakitkan dan mempurukkan perekonomian, bukan saja petani dan pekebun kita yang dirugikan, tetapi juga rakyat keseluruhan. Ini membuktikan intervensinya oknum-oknum yang punya kewenangan (jelasnya penguasa yang berkolaborasi dengan produsen tertentu) untuk keuntungan pribadi atau kelompok, sebab jika itu merupakan kebijakan pemerintah, we lah brarti pemerintah bingung, ga ngerti yang bener itu yang bagaimana, apa ya mungkiiin? ga lah.

Atau kasus dibangunnya ini-itu padahal kebutuhan riil masyarakat bukan bangunan itu tetapi bangunan lain yang lebih menyentuh hajat hidup atau kebutuhan masyarakat, sehingga dengan adanya bangunan-bangunan itu justru mengganggu, menelantarkan bahkan mematikan sendi-sendi kehidupan rakyat banyak, yang telah berfungsi dan eksis sebelumnya. Model intervensi seperti ini jelas intervensi kebijakan pemerintah didalam pemerintahan itu sendiri (sebab jika kebijakan yang benar-benar mengikuti aturan perundang-undangan apalagi merujuk dan mengingat sebaik-baiknya amanat pembukaan UUD 45, pasti ga akan terjadi yang begituan, 'caya deh). Yang begituan jelas merupakan bukti konkrit tidak nyambungnya aspirasi rakyat dengan pemahaman yang dimiliki oleh sang pemegang kebijakan. Banyak yang mengistilahkan sebagai kebijakan yang tidak membumi.

Atau kasus-kasus, segudang kasus seperti yang telah sekian lama merebak berkembang luas sampai sekarang ini, sehingga bentuk atau wujud intervensi itu menjadi begitu samar, menjadi barang absurd , barang yang dipakai untuk main-main, untuk memainkan perannya masing-masing, untuk bertahan tetapi juga untuk menyerang, untuk mengamankan sekaligus mencapai tujuan. Pokoknya jika tidak teliti, tidak benar-benar diperhatikan runutan kisah dan statusnya sesuai tahapan-tahapannya, jika tidak wening, maka apakah itu intervensi positif atau negatif, atau apakah itu murni benar atau agak benar sudah ga jelas lagi, tetapi itu seakan sudah menjadi barang lumrah, wajar-wajar saja, yang pasti intervensi yang berstatus negative seakan sudah ga dipedulikan lagi sehingga bisa dibilang ga ada yang negatif, tumpang-tindih dan amburadul, dan itu semua “hanya” demi kemenangan (berarti ada yang kalah….dan tunggu waktu pasti yang kalah akan membalasnya), bukan demi kemaslahatan yang tak mengenal istilah dan tujuan menang-kalah. Last but not least, yang menjadi masalah adalah ketika ini semua berlangsung  di elite negeri ini.

Yuk, coba kita perhatikan sedikit saja contoh dari hamparan luas kejadian intervensi yang sesungguhnya negative atau tak seharusnya atau tak layak atau yang bahkan sudah melanggar aturan kebenaran yang dianut negeri ini (baca UUD 45, Pancasila dan Nilai-nilai Luhur Perjuangan Kemerdekaan juga Kepribadian Bangsa atau jelasnya nabraki buday adiluhung).

Contoh paling dan sedang “in” saat ini, kasus Mr. Gayus. Logika dan arus suara batin siapa yang tidak menyatakan 1000% itu tanpa intervensi? Kasus grasi untuk para koruptor? Kasus Bibit Candra? Kasus seorang perwira dalam sekian hari melompat pangkatnya (jadi ingat juga yang terjadi di Korea Utara, hiii..ko ra beda si..)?  Kasus-kasus umum terpidana yang berduit hukumannya cuma secuil tahun dan selama ditahanan itupun bebas melenggang kemana-mana untuk tetap bisa menikmati apa saja (perhatikan,  pasti kenikmatan yang berstatus “maksiat”, mubadzir-mudharat dan kian jauh dari makna bertobat). Mau contoh yang lebih banyaaak? Capek nulisnya ah!.

Maka kalau sekarang alam di negeri ini bergolak, bukankah itu juga akibat dari intervensi negatif / campur tangan manusia yang tak semestinya tak seharusnya tak layak bahkan jelas SALAH !.

Alloh SWT tak perlu berbuat apapun apalagi marah, tetapi sistimNya-lah (yang telah diberlakukan sejak masa penciptaan alam semesta seisinya) otomatis bergerak memencet tombol merah bagi dan di status alam ini, dan alam itu masih bagian mikro-mikronya yaitu Indonesia. ASTAGHFIRULLAAH.

Tulisan ini samasekali belum mewakili keruwetan yang berlangsung seperti tiada henti-hentinya ini.
Hanya karena kadang masih dipaksa untuk bersikap excuse, teruuus begitu, sementara kerusakan terus berlangsung kian memperpuruk seluruh kondisi hidup dan kehidupan ini... 
Pun mengingat yg seperti ini sudah bukan sesuatu yg dipedulikan oleh tidak sedikit saudara kita sendiri, sehingga kadang memang melemahkan semangat dan berkecil hati utk membiarkan hidup ini berlangsung dan dijalani begitu saja asal punya pekerjaan tetap, masa dpn klga terjamin, punya papan tak kekurangan pangan dan pakaianpun bisa bertumpuk dilemari (hingga karyawan rumah tangga atau msh banyak dipakai istilah "babu minimal pembantu" kecapekan gembrobyos nyetrika tak ada habisnya)  
ha ha ha capek deeh....


- Tenggarong, 14 Nopember 2010 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar